PARADIGMA ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
Oleh : Edi Suharto, PhD
Ketua Program Pascasarjana Spesialis Pekerjaan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS)
“The goals of social welfare is to fulfill the social, financial, health, and recreational requirements of all individual in a society. Social welfare seeks to enhance the social functioning of all age groups, both rich and poor. When other institutions in our society (such as the market economy and the family) fail at times to meet the basic needs of individuals or groups of people, social services are needed and demanded…Almost all social workers are employed in the social welfare field. There are, however, many other professional and occupational groups working in the field.” Charles, H. Zastrow, The Practice of Social Work (1999: 6)
Apa yang ada dalam benak kita manakala mendengar atau membaca istilah kesejahteraan sosial? Apakah kita memandang kesejahteraan sosial sebagai kondisi kehidupan, kegiatan yang terorganisir, atau sebagai sebuah ilmu? Dengan memfokuskan kesejahteraan sosial sebagai sebuah disiplin akademis, makalah ini akan membahas dimana posisi ilmu kesejahteraan sosial dalam konteks ilmu sosial terapan; bagaimana perkembangan ilmu kesejahteraan sosial dan apa landasan epistemologinya; apa saja paradigma ilmu kesejahteraan sosial dan mana yang paling tepat dikembangkan dalam kurikulum Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya di UIN Sunan Kalijaga,
Kesejahteraan Sosial
“Kesejahteraan sosial” (social welfare) memiliki arti yang berwayuh wajah. Ia dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang (Suharto, 2007a; 2007b). Kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai pendekatan atau kegiatan yang terorganisir dalam bidang pembangunan sosial. Dalam konteks ini, kesejahteraan sosial biasanya merujuk pada arena atau field of practice tempat berkiprah berbagai profesi kemanusiaan, termasuk pekerja sosial, dokter, perawat, guru, psikolog, dan psikiater. Di negara-negara maju, kesejahteraan sosial sangat identik dengan jaminan sosial (social security), seperti public assistance dan social insurance, yang diselenggarakan negara terutama untuk kaum yang kurang beruntung (disadvantaged groups). Di Indonesia, kesejahteraan sosial sering dipandang sebagai tujuan atau kondisi kehidupan yang sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan pokok manusia (Suharto, 2006a; 2006b).
Kesejahteraan sosial bisa dipandang sebagai ilmu atau disiplin akademis yang mempelajari kebijakan sosial, pekerjaan sosial, dan program-program pelayanan sosial. Seperti halnya sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, politik, studi pembangunan, dan pekerjaan sosial, ilmu kesejahteraan sosial berupaya mengembangkan basis pengetahuannya untuk mengidentifikasi masalah sosial, penyebabnya dan strategi penanggulangannya. Pada masa awal perkembangannya, kesejahteraan sosial memiliki basis ilmu yang dikembangkan dari berbagi disiplin ilmu sosial lain, terutama filsafat, sosiologi, psikologi, antropologi, politik dan ekonomi. Belakangan ini, bidang studi kesejahteraan sosial telah sangat aktif menyelenggarakan berbagai proyek penelitian dan pengembangan keilmuannya yang semakin spesifik. Zastrow (2000: 7) menegaskan perkembangan ilmu kesejahteraan sosial ini dengan menyatakan: This increased research and theory development activity is an indication that social welfare is a discipline that is maturing, as it is now developing much of its own knowledge base.
Sebagai bagian dari ilmu sosial terapan, kesejahteraan sosial sering sulit dibedakan dengan sosiologi, psikologi, sosiatri (yang dikembangkan di Universitas Gadjah Mada), dan khususnya dengan pekerjaan sosial (social work). Di semua universitas
Lantas apa bedanya pendidikan kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial? Untuk mempermudah pemahaman, saya seringkali membuat analogi kesejahteraan sosial dengan bidang kesehatan dan pendidikan yang sama-sama menjadi bagian dari pembangunan sosial (Suharto, 2007b). Merujuk pada bidang kesehatan, ilmu kesejahteraan sosial identik dengan ilmu kesehatan yang di dalamnya ada ilmu kedokteran dan dokter sebagai profesi utamanya. Dalam bidang pendidikan, ilmu kesejahteraan sosial senafas dengan ilmu pendidikan yang mencakup ilmu keguruan dan melibatkan guru sebagai profesi utamanya. Jika analogi ini digunakan, maka ilmu kesejahteraan sosial mencakup ilmu pekerjaan sosial dan melibatkan pekerja sosial (social worker) sebagai profesi utamanya. Dengan kata lain, ilmu kesejahteraan sosial sangat erat kaitannya dengan, namun lebih luas daripada, disiplin pekerjaan sosial (Gambar 1). Menurut Zastrow (2000: 7): Social welfare is a more comprehensive term than social work; social welfare encompasses social work. Social welfare and social work are primarily related at the level of practice.
Oleh karena itu, jika ada kalangan Perguruan Tinggi yang mencoba mengembangkan ilmu kesejahteraan sosial, namun sama sekali tidak mengkaitkannya dengan, dan bahkan reluctant atau alergi terhadap, disiplin pekerjaan sosial, selain a-historis juga bisa disebut sebagai “orang yang kebingungan” – untuk tidak menyatakan “orang yang tersesat dan menyesatkan.”
Sebagaimana dinyatakan Zastrow (1999: 6) yang dikutip di awal tulisan, hampir semua pekerja sosial bekerja di bidang kesejahteraan sosial, meskipun berbagai profesi lain juga terlibat di
Gambar 1: Analogi ilmu kesejahteraan sosial, kesehatan dan pendidikan
Gambar 2: Beberapa profesi yang terlibat di bidang kesejahteraan sosial
Paradigma
Sebagai sebuah ilmu, kesejahteraan sosial relatif masih muda. Di Amerika, tanah kelahirannya yang kedua setelah Inggris, lembaga-lembaga kesejahteraan sosial yang pertama muncul di wilayah perkotaan pada tahun 1800an (Suharto, 2007b).
Lembaga-lembaga pelayanan swasta ini dikembangkan berdasarkan inisiatif ara pendeta dan kelompok-kelompok keagamaan. Hingga awal tahun 1900an, pelayanan sosial umumnya diberikan oleh para pendeta, biarawati atau orang kaya baik hati yang tidak memiliki pendidikan formal dan pemahaman yang komprehensif mengenai perilaku manusia dan bagaimana menolong orang. Fokus utama lembaga-lembaga pelayanan sosial saat itu adalah memenuhi kebutuhan fisik minimal orang-orang miskin dan berusaha menyembuhkan penyakit-penyakit emosional dan personal dengan pendekatan keagamaan (DuBois dan Miley: 2005; Suharto, 2007b)
Perkembangan kesejahteraan sosial menjadi sebuah bidang ilmu juga tidak dapat dilepaskan dari wacana mengenai peran negara dalam pembangunan, khususnya pembangunan sosial. Karenanya, kesejahteraan sosial sangat terkait dengan tiga ideologi ‘besar’ (grand ideology) atau mazhab pemikiran yang berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat, yaitu: liberalisme, konservatifisme dan strukturalisme (Suharto, 2006b; lihat Parsons et al 1994; DuBois dan Miley, 2005). Ketiga ideologi ini memiliki pandangan berlainan tentang bagaimana seharusnya negara berperan dalam pembangunan ekonomi dan sosial yang kemudian melahirkan sistem ‘negara kesejahteraan’ (welfare state) dan mempengaruhi perkembangan paradigma kesejahteraan sosial dan pendekatan pekerjaan sosial.
1. Liberalisme
Kaum liberal mendukung welfare state. Negara merefleksikan kehendak individu dan dipilih berdasarkan perwakilan kelompok. Negara memiliki legitimasi untuk mengatur dan bertindak. Tiga intervensi negara yang diperlukan dalam pembangunan mencakup: (a) penciptaan distribusi pendapatan, (b) stabilisasi mekanisme pasar swasta, dan (c) penyediaan barang-barang publik (public goods) yang tidak mampu atau tidak efisien disediakan oleh pasar. Individu dan kelompok adalah warga negara yang sehat, namun punya potensi menjadi rentan (vulnerable) dan bermasalah dikarenakan adanya kesalahan sistem atau lingkungan. “Blaming the system” adalah pandangan utama ideologi ini. Masalah sosial, termasuk orang yang mengalaminya, diakibatkan bukan oleh kesalahan individu yang bersangkutan, melainkan oleh kesalahan sistem.
Kesejahteraan sosial berporos pada paradigma institusional-universal yang meyakini bahwa masalah sosial hanya bisa dipecahkan dengan program pelayanan sosial yang melembaga, berkelanjutan, dan mencakup semua warga. Pendekatan pekerjaan sosial menekankan pentingnya aspek pencegahan dan pengembangan kesempatan yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Program-program pengembangan masyarakat (community development), termasuk community empowerment, capacity building dan social entrepreneurship dianggap paling ampuh dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat.
2. Konservatifisme
Mazhab konservatisme adalah penentang welfare state. Sistem politik pada hakekatnya bersifat fungsional dan karenanya akan lebih baik jika dibiarkan berjalan sendiri. Masalah sosial terjadi bukan karena kesalahan sistem, melainkan kesalahan individu yang bersangkutan. Misalnya, karena malas, tidak memiliki jiwa wirausaha dan karakteristik budaya kemiskinan lainnya. Solusi yang diajukan oleh para penganut “blaming the victim” ini pada intinya membatasi peran pemerintah dan menekankan perubahan pada individu dan kelompok-kelompok kecil. Paradigma kesejahteraan sosial berpijak pada pandangan residual-selektifitas. Pelayanan sosial hanya perlu diberikan kepada kelompok lemah secara temporer manakala lembaga pasar dan keluarga tidak berfungsi. Pendekatan pekerjaan sosial lebih menitikberatkan pada pelayanan langsung dan rehabilitasi sosial-klinis untuk membantu orang agar dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.
3. Strukturalisme
Kaum struktural memandang masalah sosial sebagai akibat adanya ketimpangan pada sistem atau struktur sosial masyarakat. Masalah sosial adalah situasi tidak terhindarkan dan akan selalu ada dalam sistem yang classist, sexist dan racist, karena sistem seperti itu menciptakan ketidakadilan melalui perbedaan-perbedaan status sosial. Keadaan ini akan semakin membesar dan memburuk dalam sebuah sistem ekonomi kapitalis.
Rakyat adalah korban dan objek eksploitasi orang-orang yang memiliki kekuasaan dan privilege. Solusinya: rakyat harus berjuang memperoleh kekuasaan dan menjangkau sumber-sumber. Sistem ekonomi, sosial dan politik harus diubah dan direstrukturisasi secara menyeluruh.
Implikasi Bagi Kurikulum
Paradigma mana yang paling tepat dikembangkan oleh Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya oleh UIN Sunan Kalijaga? Menilik pengalaman UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, ketersediaan Sumber Daya Manusia, dan kemungkinan pasar kerja di Indonesia, paradigma kesejahteraan sosial yang berporos pada mazhab pertama dan ketiga lebih tepat dijadikan pijakan dalam mengembangkan kurikulum di bidang (atau yang terkait dengan), ilmu kesejahteraan sosial.
Untuk program Strata 1 (undergraduate), fokus kurikulum seyogyanya diarahkan untuk meningkatkan kapasitas mahasiswa pada level pekerjaan sosial generalis (generalist social work). Kompetensi mahasiswa sebaiknya tidak hanya menyangkut penguasaan pengetahuan dan keterampilan praktis semata, melainkan pula perlu mencakup aspek nilai-nilai atau sikap yang berkaitan dengan landasan etis dan komitmen pekerjaan sosial. Sebagai contoh, mata kuliah yang bersifat dasar perlu menyentuh beberapa “pengetahuan sosial umum” yang bisa disajikan baik secara terpisah maupun bagian dari beberapa ilmu ini: Sosiologi, Psikologi, Antropologi, Ekonomi Pembangunan, Hukum dan Politik. Sedangkan, mata kuliah yang lebih spesifik dan mencakup aspek sikap dan keahlian yang perlu diberikan diantaranya adalah:
(a) Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Masyarakat Islam;
(b) Hak Azasi Manusia dan Etika Pekerjaan Sosial;
(c) Perilaku Manusia dalam Lingkungan Sosial;
(d) Metoda Pekerjaan Sosial;
(e) Penelitian Kesejahteraan Sosial;
(f) Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial;
(g) Perencanaan dan Manajemen Pelayanan Sosial;
(h) Pengembangan Masyarakat (community development); dan
(i) Praktikum.
Senarai pustaka
DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (2005), Social Work: An Empowering
Profession,
Parsons, J. Ruth, James D. Jorgensen dan Santos H. Hernandez (1994), The Integration
of Social Work Practice,
Suharto, Edi (2006a), Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah
dan Kebijakan Sosial (cetakan ketiga),
Suharto, Edi (2006b), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (cetakan
kedua),
Suharto, Edi (2007a) Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Memperkuat
Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Pekerjaan Sosial dan Negara
Kesejahteraan di Indonesia,
Suharto, Edi (2007b), Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab
Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility),
Zastrow, Charles H. (1999), The Practice of Social Work,
Zastrow, Charles H. (2000a), Introduction to Social Work and Social Welfare, Pacific
Grove: Brooks/Cole.
0 comments:
Post a Comment