GOOGLE TRANSLATE

Translate this page from Indonesian to the following language!
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified
English French German Spain
Friday, January 15, 2010

PARADIGMA ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL


Oleh : Edi Suharto, PhD


Ketua Program Pascasarjana Spesialis Pekerjaan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung; Social Policy Expert, Galway Development Services International (GDSI), Irlandia; Consultant Plan International Indonesia


“The goals of social welfare is to fulfill the social, financial, health, and recreational requirements of all individual in a society. Social welfare seeks to enhance the social functioning of all age groups, both rich and poor. When other institutions in our society (such as the market economy and the family) fail at times to meet the basic needs of individuals or groups of people, social services are needed and demanded…Almost all social workers are employed in the social welfare field. There are, however, many other professional and occupational groups working in the field.” Charles, H. Zastrow, The Practice of Social Work (1999: 6)


Apa yang ada dalam benak kita manakala mendengar atau membaca istilah kesejahteraan sosial? Apakah kita memandang kesejahteraan sosial sebagai kondisi kehidupan, kegiatan yang terorganisir, atau sebagai sebuah ilmu? Dengan memfokuskan kesejahteraan sosial sebagai sebuah disiplin akademis, makalah ini akan membahas dimana posisi ilmu kesejahteraan sosial dalam konteks ilmu sosial terapan; bagaimana perkembangan ilmu kesejahteraan sosial dan apa landasan epistemologinya; apa saja paradigma ilmu kesejahteraan sosial dan mana yang paling tepat dikembangkan dalam kurikulum Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Kesejahteraan Sosial

“Kesejahteraan sosial” (social welfare) memiliki arti yang berwayuh wajah. Ia dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang (Suharto, 2007a; 2007b). Kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai pendekatan atau kegiatan yang terorganisir dalam bidang pembangunan sosial. Dalam konteks ini, kesejahteraan sosial biasanya merujuk pada arena atau field of practice tempat berkiprah berbagai profesi kemanusiaan, termasuk pekerja sosial, dokter, perawat, guru, psikolog, dan psikiater. Di negara-negara maju, kesejahteraan sosial sangat identik dengan jaminan sosial (social security), seperti public assistance dan social insurance, yang diselenggarakan negara terutama untuk kaum yang kurang beruntung (disadvantaged groups). Di Indonesia, kesejahteraan sosial sering dipandang sebagai tujuan atau kondisi kehidupan yang sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan pokok manusia (Suharto, 2006a; 2006b).


Kesejahteraan sosial bisa dipandang sebagai ilmu atau disiplin akademis yang mempelajari kebijakan sosial, pekerjaan sosial, dan program-program pelayanan sosial. Seperti halnya sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, politik, studi pembangunan, dan pekerjaan sosial, ilmu kesejahteraan sosial berupaya mengembangkan basis pengetahuannya untuk mengidentifikasi masalah sosial, penyebabnya dan strategi penanggulangannya. Pada masa awal perkembangannya, kesejahteraan sosial memiliki basis ilmu yang dikembangkan dari berbagi disiplin ilmu sosial lain, terutama filsafat, sosiologi, psikologi, antropologi, politik dan ekonomi. Belakangan ini, bidang studi kesejahteraan sosial telah sangat aktif menyelenggarakan berbagai proyek penelitian dan pengembangan keilmuannya yang semakin spesifik. Zastrow (2000: 7) menegaskan perkembangan ilmu kesejahteraan sosial ini dengan menyatakan: This increased research and theory development activity is an indication that social welfare is a discipline that is maturing, as it is now developing much of its own knowledge base.


Sebagai bagian dari ilmu sosial terapan, kesejahteraan sosial sering sulit dibedakan dengan sosiologi, psikologi, sosiatri (yang dikembangkan di Universitas Gadjah Mada), dan khususnya dengan pekerjaan sosial (social work). Di semua universitas Australia dan Selandia Baru, penyelenggaraan pendidikan kesejahteraan sosial, sepengetahuan saya, dilakukan di bawah school atau department of, social work. Sebagian besar universitas di Amerika Serikat juga menyelenggarakan pendidikan kesejahteraan sosial di bawah school of social work. Namun, beberapa universitas di AS, seperti State University of New York at Albany dan University of Kansas, menyelenggarakan pendidikan kesejahteraan sosial di bawah School of Social Welfare. Sedangkan di University of California at Los Angeles (UCLA), ilmu kesejahteraan sosial diajarkan di Department of Social Welfare yang berada di bawah School of Public Affairs. Di semua universitas AS, meskipun namanya School of Social Welfare, fokus studi dan kurikulumnya tetap mengacu pada bidang ilmu pekerjaan sosial.


Lantas apa bedanya pendidikan kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial? Untuk mempermudah pemahaman, saya seringkali membuat analogi kesejahteraan sosial dengan bidang kesehatan dan pendidikan yang sama-sama menjadi bagian dari pembangunan sosial (Suharto, 2007b). Merujuk pada bidang kesehatan, ilmu kesejahteraan sosial identik dengan ilmu kesehatan yang di dalamnya ada ilmu kedokteran dan dokter sebagai profesi utamanya. Dalam bidang pendidikan, ilmu kesejahteraan sosial senafas dengan ilmu pendidikan yang mencakup ilmu keguruan dan melibatkan guru sebagai profesi utamanya. Jika analogi ini digunakan, maka ilmu kesejahteraan sosial mencakup ilmu pekerjaan sosial dan melibatkan pekerja sosial (social worker) sebagai profesi utamanya. Dengan kata lain, ilmu kesejahteraan sosial sangat erat kaitannya dengan, namun lebih luas daripada, disiplin pekerjaan sosial (Gambar 1). Menurut Zastrow (2000: 7): Social welfare is a more comprehensive term than social work; social welfare encompasses social work. Social welfare and social work are primarily related at the level of practice.


Oleh karena itu, jika ada kalangan Perguruan Tinggi yang mencoba mengembangkan ilmu kesejahteraan sosial, namun sama sekali tidak mengkaitkannya dengan, dan bahkan reluctant atau alergi terhadap, disiplin pekerjaan sosial, selain a-historis juga bisa disebut sebagai “orang yang kebingungan” – untuk tidak menyatakan “orang yang tersesat dan menyesatkan.”


Sebagaimana dinyatakan Zastrow (1999: 6) yang dikutip di awal tulisan, hampir semua pekerja sosial bekerja di bidang kesejahteraan sosial, meskipun berbagai profesi lain juga terlibat di sana. Sebagai contoh, lembaga kesejahteraan sosial adalah primary setting bagi pekerja sosial dan secondary setting bagi profesi lain. Di sebuah lembaga rehabilitasi pecandu NAPZA (Narkotik, Psikotropika dan Zat Adiktif) atau lembaga perawatan anak, pekerja sosial adalah profesi utama. Sedangkan dokter, psikolog, dan guru yang bekerja di sana adalah profesi penunjang. Rumah sakit adalah primary setting bagi dokter dan secondary setting bagi profesi lain. Profesi utama yang bekerja di rumah sakit adalah dokter. Profesi lain yang biasanya terlibat dalam bidang pelayanan kesehatan adalah perawat, akuntan, dan pekerja sosial medis. Begitu juga di sekolah. Selain guru, juga terdapat psikolog, administrator, dan dokter yang sering terlibat atau bekerja di sekolah (Gambar 2).

Gambar 1: Analogi ilmu kesejahteraan sosial, kesehatan dan pendidikan

Gambar 2: Beberapa profesi yang terlibat di bidang kesejahteraan sosial

Paradigma

Sebagai sebuah ilmu, kesejahteraan sosial relatif masih muda. Di Amerika, tanah kelahirannya yang kedua setelah Inggris, lembaga-lembaga kesejahteraan sosial yang pertama muncul di wilayah perkotaan pada tahun 1800an (Suharto, 2007b).

Lembaga-lembaga pelayanan swasta ini dikembangkan berdasarkan inisiatif ara pendeta dan kelompok-kelompok keagamaan. Hingga awal tahun 1900an, pelayanan sosial umumnya diberikan oleh para pendeta, biarawati atau orang kaya baik hati yang tidak memiliki pendidikan formal dan pemahaman yang komprehensif mengenai perilaku manusia dan bagaimana menolong orang. Fokus utama lembaga-lembaga pelayanan sosial saat itu adalah memenuhi kebutuhan fisik minimal orang-orang miskin dan berusaha menyembuhkan penyakit-penyakit emosional dan personal dengan pendekatan keagamaan (DuBois dan Miley: 2005; Suharto, 2007b)

Perkembangan kesejahteraan sosial menjadi sebuah bidang ilmu juga tidak dapat dilepaskan dari wacana mengenai peran negara dalam pembangunan, khususnya pembangunan sosial. Karenanya, kesejahteraan sosial sangat terkait dengan tiga ideologi ‘besar’ (grand ideology) atau mazhab pemikiran yang berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat, yaitu: liberalisme, konservatifisme dan strukturalisme (Suharto, 2006b; lihat Parsons et al 1994; DuBois dan Miley, 2005). Ketiga ideologi ini memiliki pandangan berlainan tentang bagaimana seharusnya negara berperan dalam pembangunan ekonomi dan sosial yang kemudian melahirkan sistem ‘negara kesejahteraan’ (welfare state) dan mempengaruhi perkembangan paradigma kesejahteraan sosial dan pendekatan pekerjaan sosial.

1. Liberalisme

Kaum liberal mendukung welfare state. Negara merefleksikan kehendak individu dan dipilih berdasarkan perwakilan kelompok. Negara memiliki legitimasi untuk mengatur dan bertindak. Tiga intervensi negara yang diperlukan dalam pembangunan mencakup: (a) penciptaan distribusi pendapatan, (b) stabilisasi mekanisme pasar swasta, dan (c) penyediaan barang-barang publik (public goods) yang tidak mampu atau tidak efisien disediakan oleh pasar. Individu dan kelompok adalah warga negara yang sehat, namun punya potensi menjadi rentan (vulnerable) dan bermasalah dikarenakan adanya kesalahan sistem atau lingkungan. “Blaming the system” adalah pandangan utama ideologi ini. Masalah sosial, termasuk orang yang mengalaminya, diakibatkan bukan oleh kesalahan individu yang bersangkutan, melainkan oleh kesalahan sistem.

Kesejahteraan sosial berporos pada paradigma institusional-universal yang meyakini bahwa masalah sosial hanya bisa dipecahkan dengan program pelayanan sosial yang melembaga, berkelanjutan, dan mencakup semua warga. Pendekatan pekerjaan sosial menekankan pentingnya aspek pencegahan dan pengembangan kesempatan yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Program-program pengembangan masyarakat (community development), termasuk community empowerment, capacity building dan social entrepreneurship dianggap paling ampuh dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat.

2. Konservatifisme

Mazhab konservatisme adalah penentang welfare state. Sistem politik pada hakekatnya bersifat fungsional dan karenanya akan lebih baik jika dibiarkan berjalan sendiri. Masalah sosial terjadi bukan karena kesalahan sistem, melainkan kesalahan individu yang bersangkutan. Misalnya, karena malas, tidak memiliki jiwa wirausaha dan karakteristik budaya kemiskinan lainnya. Solusi yang diajukan oleh para penganut “blaming the victim” ini pada intinya membatasi peran pemerintah dan menekankan perubahan pada individu dan kelompok-kelompok kecil. Paradigma kesejahteraan sosial berpijak pada pandangan residual-selektifitas. Pelayanan sosial hanya perlu diberikan kepada kelompok lemah secara temporer manakala lembaga pasar dan keluarga tidak berfungsi. Pendekatan pekerjaan sosial lebih menitikberatkan pada pelayanan langsung dan rehabilitasi sosial-klinis untuk membantu orang agar dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.

3. Strukturalisme

Kaum struktural memandang masalah sosial sebagai akibat adanya ketimpangan pada sistem atau struktur sosial masyarakat. Masalah sosial adalah situasi tidak terhindarkan dan akan selalu ada dalam sistem yang classist, sexist dan racist, karena sistem seperti itu menciptakan ketidakadilan melalui perbedaan-perbedaan status sosial. Keadaan ini akan semakin membesar dan memburuk dalam sebuah sistem ekonomi kapitalis.

Rakyat adalah korban dan objek eksploitasi orang-orang yang memiliki kekuasaan dan privilege. Solusinya: rakyat harus berjuang memperoleh kekuasaan dan menjangkau sumber-sumber. Sistem ekonomi, sosial dan politik harus diubah dan direstrukturisasi secara menyeluruh.

Para penganut mazhab strukturalisme memiliki kesamaan pandangan dengan kaum liberal. Mereka menganut faham “blaming the system” atau lebih tepatnya “blaming the structure” serta paradigma kesejahteraan sosial yang bersandar pada model institusional-radikal. Yang membedakannya dengan kaum liberalis adalah bahwa pendekatan pekerjaan sosial yang dikembangkan oleh kelompok strukturalis lebih memfokuskan pada perubahan lingkungan pada aras makro. Analisis kebijakan sosial, advokasi kelas dan aksi-aksi sosial dan politik adalah beberapa metoda yang sering digunakan untuk melakukan perubahan sosial secara struktural dan radikal. Skema perlindungan sosial, seperti social security, welfare-to-work programmes, social safety nets, dan conditional cash transfer adalah beberapa program yang umumnya diterapkan oleh mazhab ini.

Implikasi Bagi Kurikulum

Paradigma mana yang paling tepat dikembangkan oleh Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya oleh UIN Sunan Kalijaga? Menilik pengalaman UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, ketersediaan Sumber Daya Manusia, dan kemungkinan pasar kerja di Indonesia, paradigma kesejahteraan sosial yang berporos pada mazhab pertama dan ketiga lebih tepat dijadikan pijakan dalam mengembangkan kurikulum di bidang (atau yang terkait dengan), ilmu kesejahteraan sosial.

Untuk program Strata 1 (undergraduate), fokus kurikulum seyogyanya diarahkan untuk meningkatkan kapasitas mahasiswa pada level pekerjaan sosial generalis (generalist social work). Kompetensi mahasiswa sebaiknya tidak hanya menyangkut penguasaan pengetahuan dan keterampilan praktis semata, melainkan pula perlu mencakup aspek nilai-nilai atau sikap yang berkaitan dengan landasan etis dan komitmen pekerjaan sosial. Sebagai contoh, mata kuliah yang bersifat dasar perlu menyentuh beberapa “pengetahuan sosial umum” yang bisa disajikan baik secara terpisah maupun bagian dari beberapa ilmu ini: Sosiologi, Psikologi, Antropologi, Ekonomi Pembangunan, Hukum dan Politik. Sedangkan, mata kuliah yang lebih spesifik dan mencakup aspek sikap dan keahlian yang perlu diberikan diantaranya adalah:

(a) Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Masyarakat Islam;

(b) Hak Azasi Manusia dan Etika Pekerjaan Sosial;

(c) Perilaku Manusia dalam Lingkungan Sosial;

(d) Metoda Pekerjaan Sosial;

(e) Penelitian Kesejahteraan Sosial;

(f) Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial;

(g) Perencanaan dan Manajemen Pelayanan Sosial;

(h) Pengembangan Masyarakat (community development); dan

(i) Praktikum.

Senarai pustaka

DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (2005), Social Work: An Empowering

Profession, Boston: Pearson

Parsons, J. Ruth, James D. Jorgensen dan Santos H. Hernandez (1994), The Integration

of Social Work Practice, Pacific Grove: Brooks/Cole.

Suharto, Edi (2006a), Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah

dan Kebijakan Sosial (cetakan ketiga), Bandung: Alfabeta.

Suharto, Edi (2006b), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian

Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (cetakan

kedua), Bandung: Refika Aditama.

Suharto, Edi (2007a) Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Memperkuat

Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Pekerjaan Sosial dan Negara

Kesejahteraan di Indonesia, Bandung: Alfabeta (segera terbit)

Suharto, Edi (2007b), Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab

Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility), Bandung: Refika Aditama

Zastrow, Charles H. (1999), The Practice of Social Work, Pacific Grove: Brooks/ Cole.

Zastrow, Charles H. (2000a), Introduction to Social Work and Social Welfare, Pacific

Grove: Brooks/Cole.

0 comments:

Post a Comment

LOGIN

USER NAME :

PASSWORD :

INFO IKA 2010

Pengurus IKA dan Pimpinan serta Staff STIKS Tamalanrea Makassar pada kunjungan kerja di Kabupaten Mamasa pada tanggal 12 S/D 13 Maret 2010 telah mengadakan pertemuan silaturrahim dengan Bapak Bupati Kabupaten Mamasa dan diterima oleh alumni STIKS Tamalanrea Makassar yang berdomisili di Kabupaten Mamasa.

Dalam kunjungan tersebut IKA STIKS Tamalanrea Makassar diwakili oleh wakil ketua IKA STIKS Tamalanrea Makassar saudara Umar Samad, S.Sos

Pada kesempatan kunjungan tersebut sekaligus telah diadakan pelantikan pengurus IKA Kabupaten Mamasa dan hadir pada kesempatan tersebut alumni-alumni STIKS Tamalanrea Makassar dan secara aklamasi yang ditunjuk sebagai ketua adalah saudara Helby, S.Sos sebagai Ketua IKA Komisariat Kabupaten Mamasa

Adapun tugas pokok saudara Helby S.Sos adalah anggota DPRD Komisi I Kabupaten Mamasa.

Di lain kesempatan Pimpinan dan Staff STIKS Tamalanrea Makassar pada tanggal 13 Maret 2010 mengadakan kunjungan silaturrahim dengan Bapak Bupati Kabupaten Mamasa, Bapak Kepala BKD Kabupaten Mamasa serta jajarannya serta 2 orang anggota DPRD Kabupaten Mamasa

Rombongan kembali ke Makassar dengan selamat pada tanggal 14 Maret 2010.

Baca Selengkapnya